Candi Joko Ripuh terletak di belakang pasar lama
Petarukan, Pemalang. Candi ini tak seperti candi pada umumnya. Namanya memang candi
tapi bentuknya hanya sebuah makam biasa. Di candi itulah dimakamkan jenazah Raden
Joko Ripuh yang bersumpah akan membela kebenaran dan ketertindasan masyarakat Petarukan
dan sekitarnya.
Berbeda dengan makam-makam pada umumnya, candi Joko
Ripuh Justru jarang dikunjungi. Meski sesekali ada seseorang yang datang
mengunjunginya yang percaya bahwa makam tersebut memiliki daya ghoib.
Raden Joko Ripuh adalah pemuda kelahiran desa Jimat
di perbatasan Pemalang dan Pekalongan yang masih keturunan Mbah Cempaluk yang kondang
di Pekalongan dan juga katanya msih keponakan Sunan Kalijaga. Sejak kecil Raden
Joko Ripuh sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, kemudian diasuh oleh mbah
Cempaluk dan kanjeng Sunan Kalijaga.
Didikan agama dan kemasyarakatan membentuk pribadi
raden Joko Ripuh menjadi pemudah yang cerdas dan gagah berani. Setelah dianggap dewasa, raden
Joko Ripuh di perintah pergi mengembara. Tujuannya, untuk menambah ilmu
kesaktian untuk membela kebenaran dan ketertindasan. Semangat itu makin dirasa
penting setelah datangnya pasukan Belanda yang semakin ingin berkuasa di tanah jawa.
Dengan semangat juang yang sangat besar, pergilah
raden Joko Ripuh ke jawa timur. Tidak lama kemudian, ia mengabdi di keraton Surakarrta.
Di sanalah dia bertemu dengan saudara-saudaranya, yaitu: Raden Bahurekso, Raden
Suro, dan Raden Ayu Samar. Ternyata pengabdiannya tidak terasa nyaman, sebab keraton
Surakarta sudah dikuasai oleh Belanda. Terbukti pengangkatan punggawa atau
pegawai harus dengan persetujuan Belanda. Hal itu menimbulkan tekad baru
dibenak Raden Bahurekso untuk mengindar dari pengaruh Belanda.
Kemudian terjadilah kesepakatan diantara mereka
untuk meninggalkan keraton Surakarta guna menggalang kekuatan. Raden Suro
menuju dukuh Bonagung di Tegalarum (Tegal) dan Raden Ayu Samar ke dukuh Singrumung
Wilayah Petarukan, Pemalang. Saat itu Raden Bahurekso dan Raden Joko masih
bertahan di keraton Surakarta guna mempelajari siasat Belanda.
Namun, gerak-geriknya tercium oleh mata-mata
Belanda. Mereka dianggap sulit untuk diajak Kompromi dan berbahaya karena
memiliki kesaktian yang tangguh. Karena itu, Raden Bahurekso disingkirkan
secara halus dengan ditugaskan jauh dari keraton Surakarta. Kejadian itu
mendorong Raden Joko untuk meninggalkan Keraton Surakarta tanpa pamit. Dengan pemikiran,
kapan-kapan pasti akan mengalami nasib yang sama dengan Raden Bahurekso.
Setelah menempuh perjalanan yang penuh rintangan,
bertemulah mereka di Dukuh Jimat. Ternyata mempunyai maksud yang sama, yaitu
hendak mengadukan nasib kepada Mbah Cempaluk. Mereka masih ingin melanjutkan pengembaraan
kemanapun. Niatnya ingin memperkaya pengalaman dan menggalang kekuatan. Hal
itupun didukung oleh Mbah Cempaluk.
Pada waktu itu perjalanan darat masih banyak
hambatan. Lalu terpikirlah untuk membuat perahu atau sampan yang kokoh, sehingga
dapat menyisir pantai dan menyusup sungai-sungai. Bahan kayu yang paling bagus
untuk membuat perahu atau sampan itu adalah kayu Jatisari. Terdengar kabar ada pohon
Jatisari yang sangat besar di hutan kedunglempung dekat Pemalang. Mendengar
berita itu pun mereka jadi ingin menebang pohon tersebut. "Bersabarlah,
kalian semua harus punya kekuatan lahir batin. Sebab hutan itu dihuni jin dan setan.
Mereka harus ditundukan terlebih dahulu". Kata Mbah Cempaluk dengan
bijaksananya. "Bagaimana caranya..??" kata Raden Bahurekso tak sabar.
"Tirakatlah untuk sementara disini, nanti ada saatnya kalian menebang
pohon itu". Kata Mbah Cempaluk.
Selama tirakat atau menyepi di suatu tempat
yang bernama jimat, mereka rajin mengaji sambil menata kekuatan batin. Beberapa
waktu kemudian, merekapun diberi ijin untuk menebang pohon jatisari tersebut.
Mereka juga diberi senjata ampuh bernama kiai kudi (berbentuk seperti celurit atau
sabit) untuk Raden Baurekso dan senjata kiai pendel untuk Raden Joko Rimpuh.
Dengan pusaka itulah mereka berhasil menebang pohon jatisari tanpa merusak struktur
kayu tersebut.
Batangnya dibuat perahu atau sampan, sedang
dahannya digunakan sebagai penambat sampan, cabangnya dibuat jangkar dan pucuknya
dibuat kentongan. Dengan perahu atau sampan itulah mereka menyisir pantai dan
menyusup ke sungai-sungai yang jauh dan berliku. Dengan maksud agar mendapatkan
gambaran atau keadaan wilayah tanah jawa dan mencari para pendekar-pendekar yang
akan diajak untuk bergabung. Samapailah mereka di wilayah Cirebon yang
sedang sibuk menggelar suatu acara adat atau tradisi setempat.
(Sumber:
http://pinocions-khoirulrahmat.blogspot.co.id/2012/04/cerita-rakyat-dari-pemalang-candi-joko.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar