Setiap tanggal
24 Januari selalu diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Pemalang. Pada
tanggal 24 Januari pada tahun 1575 dianggap sebagai lahirnya Pemalang sebagai
daerah pemerintahan setingkat kabupaten. Namun keberadaan suatu daerah tidaklah
berdiri secara tiba-tiba, namun jauh sebelumnya tentu saja sudah ada kehidupan
masyarakat yang membentuk kebudayaan di daerah tersebut.
A. Legenda Kabupaten Pemalang
Legenda
merupakan ceritra prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu
yang benar-benar terjadi. Legenda yang berkembang di daerah Pemalang merupakan
legenda setempat dimana berhubungan dengan nama Pemalang sendiri dan beberapa
wilayah di wilayah Pemalang. Terdapat beberapa legenda yang menunjukkan asal
usul Pemalang, antara lain:
a. Berdasar
Watak (Kepribadian)
Orang Pemalang
Masyarakat Pemalang memiliki semboyan “Banteng Wareng ing Payudan tan Sinayudan
– Rawe-rawe rantas Malang-malang Putung”. yang memiliki arti bahwa rakyat
Pemalang jika sudah dilukai atau dijajah berani berjuang. Biarpun rakyat kecil,
namun bila berada di arena peperangan tidak bisa dicegah. Dalam melawan musuh
sambil sinonderan sampai berselendang usus tak akan menyerah.
b. Nama
Penguasa
Di Pemalang
pernah terdapat penguasa yang bernama Raden Sambungyudo. Beliau adalah
keturunan dari Komandan perang dari Kerajaan Majapahit pada saat Perang Bubat
yang bernama Ki Bondan Lamatan. Tokoh Ki Bondan Lamatan ini berguru kepada
sesepuh Agama Pemalang yang bernama Ki Buyut Banjaransari. Ki Bondan lamatan
ini tidak kembali ke majapahit namun menetap di pemalang hingga memiliki
seorang anak yang bernama Joko Malang. Joko Malang inilah yang nantinya bernama
Raden Sambungyudo yang menjadi pimpinan daerah Pemalang. Maka nama Pemalang
berasal dari tempatnya Joko Malang.
c. Berasal dari
nama Kali Malang
Di Desa
Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang terdapat sungai yang bernama
Kali Malang. Di sungai ini pulalah terdapat muara dari Sungai Comal. Bahwa di
desa sebelah barat Sungai Comal membujur dari Desa Kendaldoyong ke Desa
Asemdoyong terdapat bekas alur yang menunjukkan adanya bekas aliran sungai dari
timur ke barat dan membingungkan orang yang akan berbuat jahat. Karena sungai
tersebut mengalir dari timur ke barat atau malang maka daerah tersebut
dinamakan “pemalang”. Kisah sungai Malang ini berkaitan pada waktu Patih
Talabuddin utusan dari Panembahan Yusup yang akan mengambil keris Kyai Tapak.
Setelah mencuri keris, Patih Talabuddin melewati sungai Malang dan akhirnya
keder atau bingung. Akhirnya niat buruk untuk membawa Keris Kyai Tapak tersebut
urung dan diserahkan lagi ke Kadipaten Pemalang.
Namun
perkembangan selanjutnya, sungai tersebut pada masa kolonial dibuat lurus
karena lumpur yang dibawa sungai bisa mencapai 5 (lima) meter, sehingga merubah
bentuk aliran sungai.
d. Berasal dari
kata “Pra” dan “Malang”
Konon
diceritakan bahwa Daerah Tegal dan Pemalang selalu berselisih paham secara
tradisi. Dan Pemalang merupakan bukti sebagai batas atau penghalang di
tengah-tengah antara Tegal dan Pekalongan. Maka Pemalang berasal dari kata
“pra” yang berarti permulaan / yang pertama dan “malang” yang berarti
penghalang atau mencegah. Di sini peran masyarakat sebagai pemalang atau
penghalang masyarakat yang saling bersengketa.
B. Masa Klasik
Pada masa
kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, nama Rakai Panaraban dipercaya masyarakat
Pemalang sebagai penguasa di Panaraban Warung Asem Pekalongan. Sebagai buktinya
terdapat beberapa nama tempat yang berawalan “Ci”, seperti Cikadu, Cikendung,
Cibuyur, Cibelok, Cibuluk, Ciawet, Ciomal (Comal), Cilincing dan masih banyak
lagi. Sedangkan pusat keagamaan berada di Gunung Mendelem. Di Pemalang tidak
terdapat candi karena Bukit Mendelem dengan ketinggian yang sama dengan Gunung
Slamet telah mewakili sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Selain itu, di
Pemalang juga tidak terdapat batu andesit, malainkan batu granit, sehingga
diperkirakan sulit untuk membentuk sebuah candi karena sifat batu yang sangat
keras namun mudah patah. Di bukit mendelem ditemukan beberapa temuan patung.
Sejarah Pemalang dapat dikaitkan dengan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8 di
Jawa Tengah dimana wilayah intinya diperkirakan dari daerah Kedu memanjang
sampai wilayah Dieng.
Walaupun belum
dikenal nama Pemalang, namun daerah ini karena berada di bawah dataran tinggi
Dieng, maka daerah Pemalang boleh dibayangkan sebagai pintu gerbang Mataram
Kuno. Sayang daerah tersebut belum sempat berkembang karena perpindahan pusat
kerajaan ke Jawa Timur. Sehingga keberadaan daerah Pemalang seperti daerah tak
bertuan. Pada masa kekuasaan Kerajaan Majapahit, tepatnya pada tahun 1357 -
1358 M, daerah Pemalang pernah dimanfaatkan oleh Patih Gajah Mada sebagai
pangkalan perang ke Sriwijaya. Dukungan orang Pemalang di bawah pimpinan Ki
Buyut Jiwandono atau Ki Buyut Banjaransari yang membuahkan hasil gemilang. Oleh
karena itu sedikitnya 17 nama daerah di Pemalang dijadikan daerah perdikan,
yaitu suatu wilayah yang tidak dipungut pajak karena dianggap berjasa.
Daerah Pemalang
mulai tampak dan berkembang pada akhir tahun 1350 M, dimana kekuasaan Kerajaan
Majapahit mencapai puncak kejayaan di bawah kekuasaan Hayam Wuruk dan Mahapatih
Gajahmada. Dengan adanya Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Gajah Mada yang
bertekat untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah panji-panji
Kerajaan Majapahit. Pengaruh Kerajaan Majapahit kala itu sampai ke Pulau
Madagaskar di dekat Benua Afrika. Peran Pemalang dalam penakhlukan daerah oleh
kerajaan majapahit adalah pada saat penakhlukan Pajajaran daerah Pasundan.
Pada tahun 1348
Masehi terjadilah Perang Bubat. Dimana terjadi peperangan antara prajurit
Majapahit dengan rombongan pengantin yang membawa Diah Pitaloka dari Kerajaan
Pajajaran. Pinangan Hayam Wuruk terhadap Diah Pitaloka adalah siasat agar
Pajajaran jatuh ke bawah panji-panji Majapahit. daerah Bubat tidak dijelaskan
secara detail. Namun di daerah Pemalang terdapat nama Babadan. Di Pemalang
berkembang cerita bahwa terdapat komandan perang yang bernama Bondan Lamatan
tidak pulang ke Majapahit dan menetap di Pemalang karena berguru dengan Ki
Buyut Banjaransari. Tokoh Bondan Lamatan ini nantinya memiliki keturunan yang
bernama Joko Malang atau Raden Sambungyudo.
C. Masa Islam
a. Awal
berkembangnya Agama Islam
Pada tahun 1500
sampai dengan 1586 M (abad XVI), Pemalang perhatian dari para wali. setidaknya
beberapa nama tokoh Islam yang berdakwah di pemalang antara lain Shech Jambu
Karang, Kyai Natas Angin, Kyai Geseng, Ki Bantar Bolang, Kyai Palintaran, Sech
Pandanjati dan lain lain. Adapun titik-titik penyebaran Agama Islam berpusat di
daerah Watu Kumpul, Ulujami dan Bantar Bolang.
b. Masa
Kerajaan Pajang
Pada masa
Kekuasaan Kerajaan Pajang yang berada di bawah tampuk kepemimpinan Sultan
Hadiwijaya, muncul istilah “Pemalang Komplang”. Pada saat itu jabatan Adipati
di Pemalang dipegang oleh putra dari Ki Gede Sambung Yudo yang bernama Adipati
Anom Windu Galbo dan patih bernama Ki Gede Murti. Setelah Ki Gede Murti wafat,
maka jabatan patih digantikan oleh putranya yang bernama Patih Jiwo Negoro.
Kekosongan
kekuasaan terjadi pada saat Adipati Anom Windu Galbo mangkat. Kekosongan
Kadipaten Pemalang pada abad ke XVI sementara jabatan Adipati dirangkap oleh
Patih Jiwo Negoro. Sultan Hadiwijaya menerima laporan dari Kadipaten Pemalang
bahwa Pemalang tidak ada penguasanga, atau istilah orang Pemalang adalah
“Pemalang Komplang”. Oleh karena itu Sultan Hadiwijaya segera memerintahkan
putranya yang bernama Pangeran Benowo untuk menjabat di kabupaten Pemalang.
Keberadaan
Kadipaten Pemalang dipandang Sultan Hadiwijaya merupakan daerah yang gawat.
Pemalang, konon ceritanya sebagai “Kutha Pemalang” atau penghalang semua orang
yang akan berbuat jahat. Maka Sultan Hadiwijaya memberikan syarat kepada
Pangeran Benowo bahwa sebelum menjabat sebagai Adipati di Kadipaten Pemalang,
Pangeran Benowo harus pergi ke Banten untuk menemui Sultan Banten yang bernama
Panembahan Yusuf untuk meminta ‘Keris Kyai Tapak’. keris tersebut dipercaya
akan menimbulkan sifat kendel atau berani menghadapi segala situasi. Selain itu
Pangeran Benowo dibekali Pusaka Keris Kyai Setan Kober yang merupakan pusaka
rampasan dari Jipang atau Arya Penangsang. Guna melegitimasi kekuasaannya di
Kadipaten Pemalang, Pangeran Benowo di bekali Serat Kekancing menjabat di
Kadipaten pemalang dan Surat ke Panembahan Yusuf agar meminjamkan Keris yang
dahulu dibawa Fatahillah dari Kerajaan Demak. (Panembahan Yusuf adalah cucu
dari Fatahillah yang pernah menjabat sebagai panglima perang Kerajaan Demak).
Kedatangan
Pangeran Benowo di Kadipaten Pemalang disambut dengan gembira. Layang Kekancing
dari Sultan Hadiwijaya langsung diumumkan oleh Patih Jiwo Negoro ke seluruh
Punggawa Praja dan segenap lapisan masyarakat. Jumenengan atau pengesahan atas
dasar Layang Kekancing dari Sultan Hadiwijaya tersebut menyebutkan bahwa
Pangeran Benowo putra Pajang diangkat sebagai penguasa Kadipaten Pemalang yang
membawahi Pemalang, Tegal dan Brebes pada hari Jumat Pon, 24 Januari 1575
Masehi atau 2 Syawal 1496 (Je) atau tahun 982 Hijriyah. Jumenengan dilakukan
pada bulan Syawal dengan maksud pada saat serah terima jabatan dari Patih Jiwo
Negoro ke Pangeran Benowo sekaligus bisa diadakan silaturahmi atau halal
bihalal antara penguasa kadipaten dan bawahannya. hari itu bertepatan dengan
musim hujan, pertanda wilayah Pemalang subur makmur loh jinawi, gemah ripah
karto toto raharjo.
Kisah Patih
Jiwo Negoro atau yang dikenal sebagai “Patih Sampun” sangat melegenda di
kalangan masyarakat Pemalang. Beliau merupakan putra asli Pemalang yang
terkenal kesaktiannya. Sang patih terkenal dengan kata “sampun dados Sang
Adipati”. Apapun yang diperintah Adipati Benowo selalu siap seperti yang
dikehendaki Sang Adipati. Pada saat diadakan jumenengan, pangeran Benowo heran
karena tidak ada pertunjukan, maka dengan spontan saat itu juga mendatangkan
penari Gamyong yang bernama Nyi Sarinten lengkap dengan gamelan dan nayogo.
Kehebatan Patih Sampun juga dapat di dijumpai sampai saat ini dengan
dibangunnya jalan dan tak kurang dari 17 jembatan di Pemalang. Atas jasa-jasa
Sang patih, Pangeran Benowo memberi isuda dengan nama Patih Sampun Jiwo Negoro.
Hubungan
Pemalang dan Banten dalam kisah selanjutnya menjadi renggang. Hal ini
dikarenakan Portugis mulai mendarat di Banten. Kerajaan Banten mengalami
kekacauan. Apalagi Ratu Kalinyamat juga mengadakan penyerangan ke banten.
Kemudian Panembahan Yusuf mengutus Patih Talabudin untuk meminta kembali keris
Kyai Tapak. Berkat kesaktian Patih Sampun, Patih Talabudin yang telah membawa
Keris Kyai Tapak menjadi bingung di Kali Malang. maka akhirnya Patih talabudin
menyerah dan mengabdi di Pemalang sebagai penyebar Agama Islam dan mengatur
perekonomian hingga meninggal dan dimakamkan di Pedurungan, Taman, Pemalang.
c. Masa
Kerajaan Mataram Islam
Pada 1582 M
dikisahkan bahwa Sultan Adiwijaya (Hadiwijaya) jatuh sakit ketika bermaksud
menyerbu mataram hingga akhirnya mangkat. Maka terjadi ketegangan perebutan
kekuasaan. Pangeran Benowo merupakan putra sulung, namun ia lahir dari istri
selir. Sedangkan dari perkawinannya dengan putri Sultan Trenggono terdapat
putri yang menikah dengan Adipati Demak. Atas usul Sunan Kudus, Pajang
diserahkan kepada Adipati Demak. Pangeran Benowo merasa tidak adil, sehingga
dia meminta bantuan Ngabei Loring Pasar dengan merelakan haknya atas Pajang
kepada Ngabei Loring Pasar.
Keberhasilannya
mengalahkan Adipati Demak, maka kekuasaan Pajang jatuh dan Kerajaan pindah ke
Mataram dengan rajanya Ngabei Loring Pasar yang bergelar Senopati Ing Alaga
Sayidin panata Gama pada tahun 1586 M Pada masa kekuasaan Sultan Agung, Mataram
mempunyai cita-cita untuk menjadikan wilayah Pulau Jawa sebagai daerah di bawah
panji-panji Kerajaan Mataram. Untuk dapat mencapai cita-cita tersebut maka
Sultan Agung harus dpat mengusir VOC dari wilayah Batavia. Maka pada tahun 1628
M, ia mengirimkan pasukannya untuk menyerang Batavia, namun serangan ini gagal
karena pasokan logistik dan perlengkapan yang kurang.
Serangan kedua
kembali dilakukan pada tahun 1629 M dengan mempersiapkan pasukan perangnya dan
mendirikan lumbung-lumbung padi di sepanjang jalan yang dilalui oleh pasukan
Mataram. Salah satu lumbung padi tersebut didirikan di daeah Tegal. Dan peran
Pemalang pada saat itu adalah sebagai terminal kecil pasokan logistik yang ada
di Tegal. Namun sayangnya pendirian lumbung-lumbung padi tersebut diketahui
oleh VOC dan berakhir dengan kekalahan karena lumbung-lumbung padi tersebut
dibakar oleh pasukan VOC. Pemalang sudah tercakup pada nama sandi jangka
jayabaya JA-LA-DU-LANG-MAS (Jogja – Sala – Kedu – Pemalang – Banyumas). Ada
yang menyebutkan bahwa kata “JALA” bukan menyebutkan Jogja dan Sala melainkan
diartikan segitiga. Pemalang adalah salah satu dari daerah Mancanegara. Ketiga
daerah tersebut membentuk segitiga yang selalu penting dalam memegang
percaturan perjalanan sejarah
D. Masa Kolonial
Keadaan
geografis Kabupaten pemalang sangat subur. Dalam sejarah disebutkan bahwa dalam
laporan Tuan Dr. De Hean tahun 1622-1623 dengan mengambil jurusan Tegal,
Pemalang, Wiradesa dan Pekalongan. Dilaporkan bahwa Pemalang dan Wiradesa penuh
dengan persawahan yang subur. Juga disebutkan dalam laporan Tuan Pieter
Franssen saat perjalanan pada tahun 1630 bahwa di Pemalang terdapat banyak
sawah. Pada tahun 1745 H, Kerajaan Mataram pindah ke daerah Sala. Konsep
keraton masih menggunakan lingkaran-lingkaran konsentris dimana keraton sebagai
pusatnya.
Peran Pemalang
adalah sebagai Monconegoro Kilen (Bang Kilen) selain Banyumas, Banjarnegara,
Cilacap dan Karesidenan Bagelen. namun setelah tahun 1830, seluruh wilayah
Monconegoro merupakan wilayah Belanda. Bukti nyata tentang kesuburan bumi
Pemalang, dibuktikan dengan banyaknya pabrik gula yang didirikan, seperti
Pabrik Gula Sumberharjo, Pabrik Gula Banjardawa yang telah dibumihanguskan pada
masa revolusi 1945, Pabrik Gula Petarukan yang telah dibumihanguskan pula pada
masa revolusi, Pabrik Gula Comal Baru yang merupakan pabrik gula terbesar di
Indonesia di samping Pabrik Gula Jatiroto di Jawa Timur, Pabrik Gula Comal Lama
dan Pabrik Gula Sragi.
Keberadaan
pabrik gula tersebut didukung adanya beberapa sungai yang tergolong berukuran
besar di Pemalang. sungai-sungai tersebut sampai sekarang dapat dilayari sampai
jauh ke pedalaman, seperti Sungai Sragi, Sungai Waluh dan Sungai Comal. Hal ini
terbukti dengan penemuan sebuah jangkar besi yang ditemukan pada tahun 1967 di
bawah jembatan Ujung Gedhe. Pada jangkar tersebut terdapat tulisan 1848 yang
diasumsikan adalah angka tahun pembuatan. Di Desa Sungapan dibuatlah bendungan
di atas Sungai Waluh dan airnya disalurkan ke beberapa sungai. Guna kepentingan
Politik Cultuur Stelsel bendungan tersebut dibangun untuk kepentingan
pengambilan dan distribusi gula dari Pabrik Gula.
(Sumber: http://nguriurijawa.blogspot.com/2012/01/raden-maoneng-bojongbata-pemalang.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar