Hari Jadi Kabupaten Pemalang

Dahulu kala, sekitar tahun 1575, Pemalang merupakan wilayah dengan nama “Babatan” kemudian berubah menjadi “Pemalang”. Nama Pemalang berasal dari kata pepalang (Jawa) dengan kata dasar palang mendapat awalan “pe“ yang artinya halangan atau rintangan. Kata palang berarti cegah, halang atau rintang.
Kata Pemalang juga berasal dari kata dasar malang (Jawa) artinya melintang, garis lurus. Dimaksudkan sebagai rintangan atau halangan bagi yang tidak mematuhi, akan berbuat jahat, bermaksud tidak baik kepada Kabupaten Pemalang. Dilihat dari masuknya Agama Islam di Pemalang, pada pertengahan abad XVI berarti juga sebagai batas atupun palang kekuasaan Hindu yang beralih ke Islam.
Selain itu dihubungkan dengan asal fisiknya, nama Pemalang dihubungkan dengan sungai yang “malang” (Jawa) yaitu melintang dari timur ke barat, searah dengan pantai laut Jawa. “Kali” (sungai) yang “malang” (melintang) ini banyak terdapat di Pemalang, seperti di Kelurahan Widuri (Kecamatan Pemalang), Desa Asemdoyong dan Kelurahan Beji (Kecamatan Taman), Kelurahan Petarukan (Kecamatan Petarukan) dan Desa Kecepit (Kecamatan Randudongkal) serta berbagai tempat lainnya.
Untuk pelacakan Hari Jadi Kabupaten Pemalang dibentuklah Tim berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pemalang tertanggal 1 Maret 1993, Nomor : 188.4/ 531/Hk tentang Pembentukan Tim Penyusun Hari Jadi Kota Pemalang dan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Pemalang.
Selanjutnya diadakan kerjasama antara Fakultas Sastra Universitas Gajahmada Yogyakarta dengan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pemalang yang dituangkan dalam berita acara kerja sama tanggal 10 September 1992.
Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1996 berhasil ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Pemalang No. 9 Tahun 1996 tentang Hari Jadi Kabupaten Pemalang dengan dinyatakan sebagai berikut :

“Hari jadi Kabupaten Pemalang ditetapkan pada tanggal 24 januari 1575 Masehi bertepatan dengan hari Kamis kliwon 1 Syawal 1496 atau 982 Hijriyah,” paparnya lagi.

Profil Kabupaten Pemalang

Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di pantai utara Pulau Jawa. Secara astronomis Kabupaten Pemalang terletak antara 1090 17′ 30″ – 109040′ 30″ BT dan 80 52′ 30″ – 70 20′ 11″ LS.
Dari Semarang (Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah), Kabupaten ini berjarak kira-kira 135 Km ke arah barat, atau jika ditempuh dengan kendaraan darat memakan waktu lebih kurang 2-3 jam. Kabupaten Pemalang memiliki luas wilayah sebesar 1.115,30 km2. Wilayah ini di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tegal. Dengan demikian Kabupaten Pemalang memiliki posisi yang strategis, baik dari sisi perdagangan maupun pemerintahan.
Kabupaten Pemalang memiliki topografi bervariasi. Bagian Utara merupakan daerah pantai dengan ketinggian berkisar antara 1-5 meter di atas permukaan laut. Bagian tengah merupakan dataran rendah yang subur dengan ketinggian 6-15 m di atas permukaan laut dan bagian Selatan merupakan dataran tinggi dan pengunungan yang subur serta berhawa sejuk dengan ketinggian 16-925 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Pemalang ini dilintasi dua buah sungai besar yaitu Sungai Waluh dan Sungai Comal yang menjadikan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah aliran sungai yang subur.
 Secara administratif Kabupaten Pemalang terdiri atas 14 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Pemalang, kecamatan-kecamatan tersebut adalah Pemalang, Taman, Petarukan, Bantarbolang,  Randudongkal,  Moga, Warungpring,  Belik,  Pulosari,  Watukumpul,  Ampelgading,  Bodeh,  Comal,  dan Ulujami.
Kabupaten Pemalang di kenal pula mempunyai banyak produk unggulan seperta Sentra tenun ATBM, konveksi, kerajinan kulit ular, dan sapu glagah, dan masih banyak potensi yang bisa di gali di bumi Pemalang tersebut.
Selain itu pula Pemalang mempunyai  keragaman seni budaya yang masih di lestarikan diantaranya sintren, kuntulan, dsb, dan untuk kuliner Pemalang mempunyai bebrapa makanan khas seperti Grombyang, sate Loso, Lontong Dekem, Tahu Campur, Apem comal, khamir arab dsb.
Fasilitas kesehatan dilayani oleh 1 rumah sakit umum daerah dan 3 rumah sakit umum swasta 22 puskesmas induk 65 puskesmas pembantu dan 22 unit puskesmas keliling dengan 103 orang dokter umum 21 orang dokter gigi, 24 dokter spesialis, 473 orang bidan dan 542 perawat, dilengkapi dengan 55 apotek dan 9 toko obat yang kesemuanya siap membantu perawatan kesehatan masyarakat Pemalang.
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Kabupaten Pemalang terus menggiatkan proses pendidikan yang terpadu dan berkesinambungan difasilitasi dengan 350 Sekolah Taman Kanak-kanak, 2 buah Sekolah Luar Biasa, 868 SD/MI, 161 SMP/MTS, 37 SMA/MA, 29 SMK dan 3 buah perguruan tinggi menjadikan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mandiri.
Layanan jasa perbankan di Kabupaten Pemalang dilayani oleh 4 buah Bank milik pemerintah BRI, BNI, Bank Mandiri dan Bank Jateng dan 7 buah bank swasta nasional seperti BCA, Bank Muamalat, Bank Danamon, CIMBNIAGA, Bank Mega, Bank Sinar Mas dan BTPN serta bank milik pemerintah daerah sebanyak 3 buah yaitu BPR, BKK, dan Bank Pasar.
Wilayah kabupaten Pemalang mendapatkan suplai energi listrik dari satu gardu induk yang telah mampu menjangkau 100% kebutuhan energy listrik perkotaan maupun pedesaan.
Kebutuhan akan air bersih dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum dengan memanfaatkan sumber air gunung. Sementara itu sungai, telaga dan sumur galian tetap dimanfaatkan karena sumber airnya yang sangat melimpah bersih dan segar.
Kabupaten Pemalang memiliki jalan Negara sepanjang 32,43 km, jalan Propinsi 99,52 km dan jalan Kabupaten sepanjang 651,97 km dengan ketersediaan armada transportasi yang melayani transportasi antar kota antar propinsi maupun dalam propinsi. Untuk melayani kebutuhan komunikasi tersedia jaringan komunikasi dengan kapasitas sentral 8.596 ssp dengan jaringan internet dan telepon yang tersebar di setiap kecamatan di Kabupaten Pemalang sehingga akan memudahkan kebutuhan komunikasi.
Kandungan sumber daya alam yang paling potensial di Kabupaten Pemalang khususnya pemalang bagian selatan yang terletak di lereng Gunung Slamet adalah berupa Tambang Diorit, Kaolin, Batu Gamping, dan Batu Marmer.
Pasar Sayur dan Buah kini telah berdiri di Pemalang dan menjadi sub terminal agrobisnis kecamatan penghasil komoditi sayur dan buah juga dimaksudkan sebagai pusat bisnis ekonomi masyarakat antar dan inter daerah.
Kegiatan ekonomi rakyat yang menjadi andalan di Kabupaten Pemalang adalah industri kecil pakaian jadi atau konveksi dan salah satunya adalah masuknya investor dari Jepang dengan mendirikan Pabrik Garment untuk memenuhi kebutuhan ekspor tekstil Indonesia. Hasil industri tesktil dan tenun meliputi sarung tenun, sarung palekat, kaos kaki dan goyor. Sementara itu kerajinan gerabah, sapu glagah, kerajinan kulit ular juga telah mampu menembus pasaran ekspor ke singapura dan Malaysia.
Kabupaten Pemalang memiliki posisi yang strategis, baik dari sisi perdagangan maupun pemerintahan. Dan menyimpan potensi sumber daya alam dengan panorama keindahan alam yang memikat serta sumber daya manusia yang sangat besar menjadikan Kabupaten Pemalang sebagai sebuah potensi laksana permata yang terpendam yang siap untuk digali.
Topograf alamnya yang berupa dataran pantai , dataran rendah, dataran tinggi serta daerah pegunungan sehingga menjadikan tanah di Kabupaten Pemalang memiliki tanah yang subur dengan panorama yang asri dan indah sangat tepat untuk berwisata maupun melakukan kegiatan-kegiatan pecinta alam.
Ternak seperti Sapi Potong, Sapi Perah, Kambing, Domba, Kerbau, Kuda, Ayam Buras, Ayam Petelur, Ayam Pedaging dan Itik, Burung Puyuh, Burung Dara sangat cocok dikembangkan di Kabupaten ini.
Menyadari besarnya potensi yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Pemalang mengembangkan budidaya ikan dan biota air laut. Selain juga berupa perikanan darat berupa Tambak, Kolam, Karamba, dan budidaya biota air tawar.
Dengan areal tambak seuas 1.728 hektar komoditas yang dikembangkan berupa Bandeng, Udang Windu dan Kepiting Soka. Sedangkan produk perikanan laut yang mempunyai nilai jual tinggi diantaranya berupa Ikan Teri Nasi, Udang, Rajungan dan Bawal Putih.
Sektor pertanian dengan lahan sawah seluas 38.617 hektar dan lahan kering 23.813 hektar masih menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten ini, komoditas yang menonjol untuk tanaman pangan adalah Padi, Ketela Pohon dan Jagung, Sayur-sayuran, Bawang Merah, Cabai Merah dan Ketimun. Sedangkan produksi buah-buahan adalah Nanas Batu, Pisang dan Mangga.
Salah satu andalan Kabupaten Pemalang adalah “Teh” dengan produksi sebesar 927,53 ton, dengan luas area perkebunan sebesar 15.713 hektar. Produksi perkebunan andalan lainnya adalah Tebu, Kelapa Sayur, Glagah Arjuna, Cengkeh, Kopi, Tembakau, Kakao, Lada, Nilam, dan Karet tumbuh subur di Kabupaten ini.
Berbagai kategori hutan tersedia di Kabupaten ini seperti Hutan Lindung, Hutan Suaka Alam dan Wisata, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Bakau dan Hutan Rakyat. Hasil kehutanan antara lain Kayu Jati, Kayu Albasia, Kayu Mahoni dan juga Getah Pinus.
Kesenian daerah berupa Wayang, Kesenian Krangkeng, Kuda Lumping dan Sintren. Dilengkapi dengan sarana akomodasi hotel serta rumah makan yang menyajikan banyak makanan khas seperti Sate Loso, Nasi Grombyang, Kepiting Gemes, Apem Comal, Kamir Pemalang dan aneka masakan hasil laut yang pastinya akan memanjakan lidah anda para pecinta wisata kuliner. Sementara itu pasar buah khas Pemalang serta pusat grosir tenun, batik dan kerajinan memberikan banyak pilihan buah tangan khas Pemalang.
Kabupaten Pemalang memiliki sejumlah obyek wisata yang memliki prospek yang sangat bagus untuk dikembangkan. Beberapa jenis obyek wisata yang dimiliki terdiri dari obyek pegunungan, pantai, air terjun, maupun obyek wisata buatan.
Pantai Widuri, Widuri Waterpark, Pantai Blendung, Pantai Joko Tingkir, Gunung Gajah, Goa Gunung Wangi, Curug Sibedil, Curung Barong, Bukit Mendelem, Telaga Rengganis, Telaga Silating, Kolam Renang Banyumudal Moga, Mata Air Cepaka Wulung, Air Terjun Sipendok, Air Terjun Bengkawah, Air Terjun Lawang dan juga Agropolitan Waliksarimadu.
Dengan jumlah penduduk 1.262.013 jiwa, kehidupan masyarakatnya yang religius dan toleran, pekerja keras dan memiliki semangat bergotong royong yang masih cukup kuat memberikan modal sosial yang kokoh bagi masyarakat Pemalang untuk melangkah lebih maju.
Terwujudnya masyarakat Pemalang yang cerdas, sehat, berdaya saing, dan berakhlak mulia dalam kesatuan wilayah Kabupaten Pemalang yang ikhlas, indah komunikatif hijau lancar aman dan sehat merupakan visi Kabupaten Pemalang.

(Sumber: http://www.pemalangkab.go.id/?p=566)

Raden Maoneng

Manut critane rakyat pasarean kang misuwur. Pasarean iku dipercaya dening masyarakat kana minangka papan kramat. Pasarean kuwi yaiku pasareane Raden Maoneng. Saiki legenda pasarean Raden Maoneng kerep dipentasake ing kesenian kethoprak utawane pagelaran wayang golek kana, dhek biyen kabupaten pemalang diparentah dening Kanjeng Adipati Raden Tumenggung Soeryonegoro. 
Raden Adipati nduwe patih kang asmane Patih Jongsari. Patih Jongsari kesengsem marang putrane adipati kang nduweni praupan ayu. Nanging sang patih ora wani ngandarake yen dheweke tresna marang Sang putri. Ing sawijining dina, ana Sang Pangeran kang asmane Raden Maoneng teka ing kabupaten Pemalang. Raden Maoneng kuwi putrane Adipati Madiun. Raden Maoneng diutus ramane supaya munggah kaji. Manut pangandikane ramane, Raden Maoneng didhawuhi supaya liwat ing pelabuhan pemalang sakdurunge nyebrang maring tanah suci. Sang Pangeran ditrima dening Adipati merga solah bawahe katon sopan. Amarga Raden Maoneng gagah tur ngganteng, Sang Putri tresna marang awake. 
Ora dinyana, jebule Raden Maoneng uga duwe rasa tresna marang Sang Putri. Ora let suwe, adipati uga ngerti kahanan antarane putrine karo Raden Maoneng. Banjur adipati aweh pangastuti marang wong loro mau. Pungkasane Raden maoneng dipek mantu dening adipati. Sawijining dina Raden maoneng matur ngenani tujuan utamane biyen yaiku munggah kaji. Amarga niyate Raden Maoneng niyat kang suci mangka Adipati lan putrine oara kabotan yen ditinggal lunga. Malahan nyiapake kabeh samubarang sing dibutuhake dening Raden Maoneng. Patih Jongsari lan para sentana pemalang diutus ngeterke raden Maoneng tekan bandar ing pinggir kadipaten Pemalang. Jebul patih isih duwe dendam amarga Raden Maoneng bisa njupuk atine putrine adipati sing ditresnani awake. Patih nduweni niyat mateni Raden Maoneng. Semana uga Raden Maoneng iya mbalik nyerang. Nanging amarga Patih Jongsari direwangi karo prajurite, akhire Raden Maoneng kalah lan mati. Mayite diselehake ing ngisor wit tanjung lan ditutupi gegodhongan. Getihe sing metu mambune wangi. 
Saiki papan panggonan mau diarani desa Tanjungsari. Tanjung tegese wit tanjung, dene sari tegese getih. Adipati nduwe rasa ora kepenak sakwise ditinggal Raden Maoneng. Apa maneh, entuk laporan menawa Patih Jongsari wis wani ngrayu putrine. Putri adipati njaluk marang bapake supaya nusul Raden Maoneng. Bajur Adipati pemalang lunga saperlu arep nglakoni tapa lan nggrogo sukma. Sukmane adipati nggoleki Raden Maoneng. Kelawan kesaktiane, pungkasane sukmane Raden maoneng bisa ketemu. Sukmane Raden Maoneng nyritakake kabeh prastawa kang dilakoni saksuwene lunga saka omah. Klawan panjaluke adipati, sukmane Raden maoneng nyawiji ing ragane saengga dheweke urip maneh. Raden maoneng lan adipati mulih menyang kadipaten Pemalang. 
Sakwise Raden maoneng mulih, kabeh kejahatan sing dilakoni dening patih Jongsari kasingkap. Banjur adipati ngutus marang prajurit-prajurit supaya nyekel patih Jongsari. Patih Jongsari mlayu nyang arah kidul. Nanging prajurit wis nyebar ing kabeh penjuru. Pungkasane patih Jongsari dikepung karo prajurit utusane Adipati Pemalang. Saiki desa papan dicekele Patih Jongsari diarani desa kepungan (ora adoh saka dukuh Mangoneng). Patih Jongsari dihukum dening sang adipati merga sangkin gedhene kejahatan sing dilakoni. Sakwise prastawa mau, Raden Maoneng lan putrine adipati urip seneng, mulya lan raharja saklawase urip. Suk mbene Raden Maoneng bisa nganteni Adipati Soeryonegara marentah kadipaten Pemalang.

(Sumber: http://nguriurijawa.blogspot.co.id/2012/01/raden-maoneng-bojongbata-pemalang.html)

Data Sejarah Kabupaten Pemalang

Setiap tanggal 24 Januari selalu diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Pemalang. Pada tanggal 24 Januari pada tahun 1575 dianggap sebagai lahirnya Pemalang sebagai daerah pemerintahan setingkat kabupaten. Namun keberadaan suatu daerah tidaklah berdiri secara tiba-tiba, namun jauh sebelumnya tentu saja sudah ada kehidupan masyarakat yang membentuk kebudayaan di daerah tersebut.
A. Legenda Kabupaten Pemalang
Legenda merupakan ceritra prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Legenda yang berkembang di daerah Pemalang merupakan legenda setempat dimana berhubungan dengan nama Pemalang sendiri dan beberapa wilayah di wilayah Pemalang. Terdapat beberapa legenda yang menunjukkan asal usul Pemalang, antara lain:
a. Berdasar Watak (Kepribadian)
Orang Pemalang Masyarakat Pemalang memiliki semboyan “Banteng Wareng ing Payudan tan Sinayudan – Rawe-rawe rantas Malang-malang Putung”. yang memiliki arti bahwa rakyat Pemalang jika sudah dilukai atau dijajah berani berjuang. Biarpun rakyat kecil, namun bila berada di arena peperangan tidak bisa dicegah. Dalam melawan musuh sambil sinonderan sampai berselendang usus tak akan menyerah.
b. Nama Penguasa
Di Pemalang pernah terdapat penguasa yang bernama Raden Sambungyudo. Beliau adalah keturunan dari Komandan perang dari Kerajaan Majapahit pada saat Perang Bubat yang bernama Ki Bondan Lamatan. Tokoh Ki Bondan Lamatan ini berguru kepada sesepuh Agama Pemalang yang bernama Ki Buyut Banjaransari. Ki Bondan lamatan ini tidak kembali ke majapahit namun menetap di pemalang hingga memiliki seorang anak yang bernama Joko Malang. Joko Malang inilah yang nantinya bernama Raden Sambungyudo yang menjadi pimpinan daerah Pemalang. Maka nama Pemalang berasal dari tempatnya Joko Malang.
c. Berasal dari nama Kali Malang
Di Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang terdapat sungai yang bernama Kali Malang. Di sungai ini pulalah terdapat muara dari Sungai Comal. Bahwa di desa sebelah barat Sungai Comal membujur dari Desa Kendaldoyong ke Desa Asemdoyong terdapat bekas alur yang menunjukkan adanya bekas aliran sungai dari timur ke barat dan membingungkan orang yang akan berbuat jahat. Karena sungai tersebut mengalir dari timur ke barat atau malang maka daerah tersebut dinamakan “pemalang”. Kisah sungai Malang ini berkaitan pada waktu Patih Talabuddin utusan dari Panembahan Yusup yang akan mengambil keris Kyai Tapak. Setelah mencuri keris, Patih Talabuddin melewati sungai Malang dan akhirnya keder atau bingung. Akhirnya niat buruk untuk membawa Keris Kyai Tapak tersebut urung dan diserahkan lagi ke Kadipaten Pemalang.
Namun perkembangan selanjutnya, sungai tersebut pada masa kolonial dibuat lurus karena lumpur yang dibawa sungai bisa mencapai 5 (lima) meter, sehingga merubah bentuk aliran sungai.
d. Berasal dari kata “Pra” dan “Malang”
Konon diceritakan bahwa Daerah Tegal dan Pemalang selalu berselisih paham secara tradisi. Dan Pemalang merupakan bukti sebagai batas atau penghalang di tengah-tengah antara Tegal dan Pekalongan. Maka Pemalang berasal dari kata “pra” yang berarti permulaan / yang pertama dan “malang” yang berarti penghalang atau mencegah. Di sini peran masyarakat sebagai pemalang atau penghalang masyarakat yang saling bersengketa.

B. Masa Klasik
Pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, nama Rakai Panaraban dipercaya masyarakat Pemalang sebagai penguasa di Panaraban Warung Asem Pekalongan. Sebagai buktinya terdapat beberapa nama tempat yang berawalan “Ci”, seperti Cikadu, Cikendung, Cibuyur, Cibelok, Cibuluk, Ciawet, Ciomal (Comal), Cilincing dan masih banyak lagi. Sedangkan pusat keagamaan berada di Gunung Mendelem. Di Pemalang tidak terdapat candi karena Bukit Mendelem dengan ketinggian yang sama dengan Gunung Slamet telah mewakili sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Selain itu, di Pemalang juga tidak terdapat batu andesit, malainkan batu granit, sehingga diperkirakan sulit untuk membentuk sebuah candi karena sifat batu yang sangat keras namun mudah patah. Di bukit mendelem ditemukan beberapa temuan patung. Sejarah Pemalang dapat dikaitkan dengan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8 di Jawa Tengah dimana wilayah intinya diperkirakan dari daerah Kedu memanjang sampai wilayah Dieng.
Walaupun belum dikenal nama Pemalang, namun daerah ini karena berada di bawah dataran tinggi Dieng, maka daerah Pemalang boleh dibayangkan sebagai pintu gerbang Mataram Kuno. Sayang daerah tersebut belum sempat berkembang karena perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Sehingga keberadaan daerah Pemalang seperti daerah tak bertuan. Pada masa kekuasaan Kerajaan Majapahit, tepatnya pada tahun 1357 - 1358 M, daerah Pemalang pernah dimanfaatkan oleh Patih Gajah Mada sebagai pangkalan perang ke Sriwijaya. Dukungan orang Pemalang di bawah pimpinan Ki Buyut Jiwandono atau Ki Buyut Banjaransari yang membuahkan hasil gemilang. Oleh karena itu sedikitnya 17 nama daerah di Pemalang dijadikan daerah perdikan, yaitu suatu wilayah yang tidak dipungut pajak karena dianggap berjasa.
Daerah Pemalang mulai tampak dan berkembang pada akhir tahun 1350 M, dimana kekuasaan Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan di bawah kekuasaan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada. Dengan adanya Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Gajah Mada yang bertekat untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit. Pengaruh Kerajaan Majapahit kala itu sampai ke Pulau Madagaskar di dekat Benua Afrika. Peran Pemalang dalam penakhlukan daerah oleh kerajaan majapahit adalah pada saat penakhlukan Pajajaran daerah Pasundan.
Pada tahun 1348 Masehi terjadilah Perang Bubat. Dimana terjadi peperangan antara prajurit Majapahit dengan rombongan pengantin yang membawa Diah Pitaloka dari Kerajaan Pajajaran. Pinangan Hayam Wuruk terhadap Diah Pitaloka adalah siasat agar Pajajaran jatuh ke bawah panji-panji Majapahit. daerah Bubat tidak dijelaskan secara detail. Namun di daerah Pemalang terdapat nama Babadan. Di Pemalang berkembang cerita bahwa terdapat komandan perang yang bernama Bondan Lamatan tidak pulang ke Majapahit dan menetap di Pemalang karena berguru dengan Ki Buyut Banjaransari. Tokoh Bondan Lamatan ini nantinya memiliki keturunan yang bernama Joko Malang atau Raden Sambungyudo.

C. Masa Islam
a. Awal berkembangnya Agama Islam
Pada tahun 1500 sampai dengan 1586 M (abad XVI), Pemalang perhatian dari para wali. setidaknya beberapa nama tokoh Islam yang berdakwah di pemalang antara lain Shech Jambu Karang, Kyai Natas Angin, Kyai Geseng, Ki Bantar Bolang, Kyai Palintaran, Sech Pandanjati dan lain lain. Adapun titik-titik penyebaran Agama Islam berpusat di daerah Watu Kumpul, Ulujami dan Bantar Bolang.
b. Masa Kerajaan Pajang
Pada masa Kekuasaan Kerajaan Pajang yang berada di bawah tampuk kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, muncul istilah “Pemalang Komplang”. Pada saat itu jabatan Adipati di Pemalang dipegang oleh putra dari Ki Gede Sambung Yudo yang bernama Adipati Anom Windu Galbo dan patih bernama Ki Gede Murti. Setelah Ki Gede Murti wafat, maka jabatan patih digantikan oleh putranya yang bernama Patih Jiwo Negoro.
Kekosongan kekuasaan terjadi pada saat Adipati Anom Windu Galbo mangkat. Kekosongan Kadipaten Pemalang pada abad ke XVI sementara jabatan Adipati dirangkap oleh Patih Jiwo Negoro. Sultan Hadiwijaya menerima laporan dari Kadipaten Pemalang bahwa Pemalang tidak ada penguasanga, atau istilah orang Pemalang adalah “Pemalang Komplang”. Oleh karena itu Sultan Hadiwijaya segera memerintahkan putranya yang bernama Pangeran Benowo untuk menjabat di kabupaten Pemalang.
Keberadaan Kadipaten Pemalang dipandang Sultan Hadiwijaya merupakan daerah yang gawat. Pemalang, konon ceritanya sebagai “Kutha Pemalang” atau penghalang semua orang yang akan berbuat jahat. Maka Sultan Hadiwijaya memberikan syarat kepada Pangeran Benowo bahwa sebelum menjabat sebagai Adipati di Kadipaten Pemalang, Pangeran Benowo harus pergi ke Banten untuk menemui Sultan Banten yang bernama Panembahan Yusuf untuk meminta ‘Keris Kyai Tapak’. keris tersebut dipercaya akan menimbulkan sifat kendel atau berani menghadapi segala situasi. Selain itu Pangeran Benowo dibekali Pusaka Keris Kyai Setan Kober yang merupakan pusaka rampasan dari Jipang atau Arya Penangsang. Guna melegitimasi kekuasaannya di Kadipaten Pemalang, Pangeran Benowo di bekali Serat Kekancing menjabat di Kadipaten pemalang dan Surat ke Panembahan Yusuf agar meminjamkan Keris yang dahulu dibawa Fatahillah dari Kerajaan Demak. (Panembahan Yusuf adalah cucu dari Fatahillah yang pernah menjabat sebagai panglima perang Kerajaan Demak).
Kedatangan Pangeran Benowo di Kadipaten Pemalang disambut dengan gembira. Layang Kekancing dari Sultan Hadiwijaya langsung diumumkan oleh Patih Jiwo Negoro ke seluruh Punggawa Praja dan segenap lapisan masyarakat. Jumenengan atau pengesahan atas dasar Layang Kekancing dari Sultan Hadiwijaya tersebut menyebutkan bahwa Pangeran Benowo putra Pajang diangkat sebagai penguasa Kadipaten Pemalang yang membawahi Pemalang, Tegal dan Brebes pada hari Jumat Pon, 24 Januari 1575 Masehi atau 2 Syawal 1496 (Je) atau tahun 982 Hijriyah. Jumenengan dilakukan pada bulan Syawal dengan maksud pada saat serah terima jabatan dari Patih Jiwo Negoro ke Pangeran Benowo sekaligus bisa diadakan silaturahmi atau halal bihalal antara penguasa kadipaten dan bawahannya. hari itu bertepatan dengan musim hujan, pertanda wilayah Pemalang subur makmur loh jinawi, gemah ripah karto toto raharjo.
Kisah Patih Jiwo Negoro atau yang dikenal sebagai “Patih Sampun” sangat melegenda di kalangan masyarakat Pemalang. Beliau merupakan putra asli Pemalang yang terkenal kesaktiannya. Sang patih terkenal dengan kata “sampun dados Sang Adipati”. Apapun yang diperintah Adipati Benowo selalu siap seperti yang dikehendaki Sang Adipati. Pada saat diadakan jumenengan, pangeran Benowo heran karena tidak ada pertunjukan, maka dengan spontan saat itu juga mendatangkan penari Gamyong yang bernama Nyi Sarinten lengkap dengan gamelan dan nayogo. Kehebatan Patih Sampun juga dapat di dijumpai sampai saat ini dengan dibangunnya jalan dan tak kurang dari 17 jembatan di Pemalang. Atas jasa-jasa Sang patih, Pangeran Benowo memberi isuda dengan nama Patih Sampun Jiwo Negoro.
Hubungan Pemalang dan Banten dalam kisah selanjutnya menjadi renggang. Hal ini dikarenakan Portugis mulai mendarat di Banten. Kerajaan Banten mengalami kekacauan. Apalagi Ratu Kalinyamat juga mengadakan penyerangan ke banten. Kemudian Panembahan Yusuf mengutus Patih Talabudin untuk meminta kembali keris Kyai Tapak. Berkat kesaktian Patih Sampun, Patih Talabudin yang telah membawa Keris Kyai Tapak menjadi bingung di Kali Malang. maka akhirnya Patih talabudin menyerah dan mengabdi di Pemalang sebagai penyebar Agama Islam dan mengatur perekonomian hingga meninggal dan dimakamkan di Pedurungan, Taman, Pemalang.
c. Masa Kerajaan Mataram Islam
Pada 1582 M dikisahkan bahwa Sultan Adiwijaya (Hadiwijaya) jatuh sakit ketika bermaksud menyerbu mataram hingga akhirnya mangkat. Maka terjadi ketegangan perebutan kekuasaan. Pangeran Benowo merupakan putra sulung, namun ia lahir dari istri selir. Sedangkan dari perkawinannya dengan putri Sultan Trenggono terdapat putri yang menikah dengan Adipati Demak. Atas usul Sunan Kudus, Pajang diserahkan kepada Adipati Demak. Pangeran Benowo merasa tidak adil, sehingga dia meminta bantuan Ngabei Loring Pasar dengan merelakan haknya atas Pajang kepada Ngabei Loring Pasar.
Keberhasilannya mengalahkan Adipati Demak, maka kekuasaan Pajang jatuh dan Kerajaan pindah ke Mataram dengan rajanya Ngabei Loring Pasar yang bergelar Senopati Ing Alaga Sayidin panata Gama pada tahun 1586 M Pada masa kekuasaan Sultan Agung, Mataram mempunyai cita-cita untuk menjadikan wilayah Pulau Jawa sebagai daerah di bawah panji-panji Kerajaan Mataram. Untuk dapat mencapai cita-cita tersebut maka Sultan Agung harus dpat mengusir VOC dari wilayah Batavia. Maka pada tahun 1628 M, ia mengirimkan pasukannya untuk menyerang Batavia, namun serangan ini gagal karena pasokan logistik dan perlengkapan yang kurang.
Serangan kedua kembali dilakukan pada tahun 1629 M dengan mempersiapkan pasukan perangnya dan mendirikan lumbung-lumbung padi di sepanjang jalan yang dilalui oleh pasukan Mataram. Salah satu lumbung padi tersebut didirikan di daeah Tegal. Dan peran Pemalang pada saat itu adalah sebagai terminal kecil pasokan logistik yang ada di Tegal. Namun sayangnya pendirian lumbung-lumbung padi tersebut diketahui oleh VOC dan berakhir dengan kekalahan karena lumbung-lumbung padi tersebut dibakar oleh pasukan VOC. Pemalang sudah tercakup pada nama sandi jangka jayabaya JA-LA-DU-LANG-MAS (Jogja – Sala – Kedu – Pemalang – Banyumas). Ada yang menyebutkan bahwa kata “JALA” bukan menyebutkan Jogja dan Sala melainkan diartikan segitiga. Pemalang adalah salah satu dari daerah Mancanegara. Ketiga daerah tersebut membentuk segitiga yang selalu penting dalam memegang percaturan perjalanan sejarah

D. Masa Kolonial
Keadaan geografis Kabupaten pemalang sangat subur. Dalam sejarah disebutkan bahwa dalam laporan Tuan Dr. De Hean tahun 1622-1623 dengan mengambil jurusan Tegal, Pemalang, Wiradesa dan Pekalongan. Dilaporkan bahwa Pemalang dan Wiradesa penuh dengan persawahan yang subur. Juga disebutkan dalam laporan Tuan Pieter Franssen saat perjalanan pada tahun 1630 bahwa di Pemalang terdapat banyak sawah. Pada tahun 1745 H, Kerajaan Mataram pindah ke daerah Sala. Konsep keraton masih menggunakan lingkaran-lingkaran konsentris dimana keraton sebagai pusatnya.
Peran Pemalang adalah sebagai Monconegoro Kilen (Bang Kilen) selain Banyumas, Banjarnegara, Cilacap dan Karesidenan Bagelen. namun setelah tahun 1830, seluruh wilayah Monconegoro merupakan wilayah Belanda. Bukti nyata tentang kesuburan bumi Pemalang, dibuktikan dengan banyaknya pabrik gula yang didirikan, seperti Pabrik Gula Sumberharjo, Pabrik Gula Banjardawa yang telah dibumihanguskan pada masa revolusi 1945, Pabrik Gula Petarukan yang telah dibumihanguskan pula pada masa revolusi, Pabrik Gula Comal Baru yang merupakan pabrik gula terbesar di Indonesia di samping Pabrik Gula Jatiroto di Jawa Timur, Pabrik Gula Comal Lama dan Pabrik Gula Sragi.
Keberadaan pabrik gula tersebut didukung adanya beberapa sungai yang tergolong berukuran besar di Pemalang. sungai-sungai tersebut sampai sekarang dapat dilayari sampai jauh ke pedalaman, seperti Sungai Sragi, Sungai Waluh dan Sungai Comal. Hal ini terbukti dengan penemuan sebuah jangkar besi yang ditemukan pada tahun 1967 di bawah jembatan Ujung Gedhe. Pada jangkar tersebut terdapat tulisan 1848 yang diasumsikan adalah angka tahun pembuatan. Di Desa Sungapan dibuatlah bendungan di atas Sungai Waluh dan airnya disalurkan ke beberapa sungai. Guna kepentingan Politik Cultuur Stelsel bendungan tersebut dibangun untuk kepentingan pengambilan dan distribusi gula dari Pabrik Gula. 

(Sumber: http://nguriurijawa.blogspot.com/2012/01/raden-maoneng-bojongbata-pemalang.html)

Pangeran Benowo

Dalam sejarah Pengeran Benowo adalah salah satu anak Raja Hadiwijaya atau Jaka Tingkir dari Pajang. Masyarakat Pemalang mempercayai keberadaan Makam Pangeran Benowo di Desa Penggarit dilatarbelakangi oleh pencarian pusaka Keris Sitapak. 
Pusaka ini dimiliki Tunggul Wasesa Palawangan yang bermukim di Desa Palawangan dekat Pantai Widuri. Kerajaan Pajang memerlukan keris pusaka Sitapak dalam upaya memenangi perang ”Konjana Papa”, yaitu perang antara ayah dan anak dalam memperebutkan takhta kerajaan. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa di kerajaan Pajang mengadakan peperangan dengan Sutawijaya yang merupakan anak angkat karena Sutawijaya ingin menjadi pewaris Kerajaan Pajang sementara Sultan Hadiwijaya ingin menyerahkan kerajaan pada anak sulung. 
Pangeran Benowo yang merupakan anak sah Sultan Hadiwijaya, meskipun bukan anak sulung atau Putra Mahkota, tentu membela kedudukan ayahnya. Ia diberi tugas untuk mendapatkan pusaka yang dimiliki oleh Tunggul Wasesa sehingga rela melakukan perjalanan jauh dari Pajang hingga ke Palawangan selain bisa memenangkan peperangan.
Ketika sampai di Palawangan, bertemulah ia dengan Tunggul Wasesa dan mengutarakan sebab kedatangannya. Tunggul Wasesa berkata bahwa ia tidak meminjamkan senjata pusaka itu, namun sekalian memberikannya dengan syarat bahwa ia bisa mengangkat pusaka itu dan menikahi anaknya yang bernama Dewi Urang Ayu. Ia ingin menguji apakah Pangeran Benowo betul-betul ingin mendapatkan pusaka itu dan menjalankan darma bakti pada orang tua meskipun harus menikah dengan seorang perempuan yang tidak cantik. 
Ternyata keris pusaka Sitapak dengan sangat mudah diangkat oleh Pangeran Benowo. Para hadirin yang melihat peristiwa itu sontak bersorak-sorai. Pangeran Benowo berjanji akan menikahi Dewi Urang Ayu kalau ia sudah menjalankan darma bakti membela Sultan Hadiwijaya dalam peperangan. Tapi Kerajaan Pajang kalah perang dengan Sutawijaya yang berkuasa di Kota Gedhe. Mendengar berita kekalahan itu, Pangeran Benowo kecewa. Hasil kerja kerasnya sia-sia belaka.
Diliputi kemarahan, tanpa sadar ia membanting keris pusaka Sitapak ke sebuah pohon nagasari besar sehingga pohon itu seketika saja tumbang hingga ke akar-akarnya. Pusaka Sitapak tertancap pada pohon dan tidak ada seorang pun yang bisa mencabutnya. Pangeran Benowo dan pengikutnya lalu memutuskan bertempat tinggal di situ.
Kekecewaannya membuat ia melupakan janji pada ki Tunggul Wasesa Palawangan untuk menikahi Dewi Urang Ayu. Ia tinggal di tempat itu dan hidup sebagai kawula alit.
Untuk kepentingan makan ia mencari ikan lele di kali dekat pohon tumbang. Tapi ia tak bisa menutupi kegundahan pada sosok Dewi Urang Ayu. Melihat kekecewaan dan patah hatinya karena tak menikahi Dewi Urang Ayu orang-orang menyebut keadaan Pangeran Benowo dengan istilah Grogek atau ”Patah hati”.
Dan sungai tempat ia mencari ikan dinamai Kali Grogek. Di Kali Grogek ada tempat bernama Jamban Ndalem, tempat mandi raja. Jamban Ndalem sendiri adalah bagian Kali Grogek yang terdalam, bahkan ada gua dalam kali yang menjorok ke Candi Penggarit. 
Setelah mengatasi segala kekecewaan hidupnya ia menemui ki Tunggul Wasesa Palawangan dan Dewi Urang Ayu. Diadakanlah pernikahan sederhana antara Pangeran Benowo dan Dewi Urang Ayu.
Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki dan perempuan, yaitu Joko Genteng yang diasuh oleh Ki Gedhe Kesesi dan Gandasari yang diasuh oleh Ki Gedhe Ampel Gading. 
Pada masa tuanya Pangeran Benowo meninggalkan kehidupan duniawi dan memutuskan untuk bertapa. Salah satu pengikut Pangeran Benowo, yaitu Mbah Kemis Hijrah ke Desa Cibelok. Hanya Jamur Apu yang setia mengikuti Pangeran Benowo dan mendampingi dalam melakukan tapa brata. 
Hingga sekarang masyarakat di sekitar Pemalang percaya bahwa makam tua di Desa Penggarit dekat pohon besar di Kali Grogek itu adalah Makam Pangeran Benowo. Sampai 1950-an, di Makam Pangeran Benowo masih terpajang tulisan dengan huruf Jawa yang berbunyi kurang lebih: ”Yen Ngabekti den nastiti ngati-ati marang Gusti. Aja lali para Wali kang supadi antuk panganggep ingsun.” 

(Sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/21/73235/Mengingat.Situs.Desa.Penggarit.)

Sejarah Keris Sitapak - Simonglang

Menurut cerita rakyat di pantai Utara desa Pemalang, sebelum abad ke 15 terjadi perang adu kesaktian antara Adipati Papak Purbaya dari Kerajaan Mataram (Jawa Tengah), dengan Prabu Slingsingan dari Siliwangi (Jawa Barat). Pernag memuncak di daerah Cirebon, Sang Prabu Slingsingan menggunakan keris Kujang dan Adipati Papak Purbaya menggunakan keris Simonglang. Mereka beradu kekuatan dengan keris tersebut sehingga menunjukan keampuhannya, keris Slingsingan dapat menembus bumi tetapai Simonglang tidak dapat membumi. Namun demikian adu kesaktian dapat dimenangkan oleh Adipati Papak Purbaya dengan keris simonglangnya (ketika dikejar dapat lari ke desa Pesantren Ulujami kabupaten Pemalang). Kemudian dengan kekuatan gaibnya dapat melumpuhkan kesaktian prabu Slingsingan walau dengan keris Kujang yang dapat menembus bumi di daerah Pemali (Losari perbatasan Cirebon – Brebes).
Usai memenangkan peperangan itu, dari daerah Cirebon Adipati Papak Purbaya ketika hendak pulang ke Mataram, dan ketika dalam perjalanan pulang di sebuah hutan rimba melihat asap api membumbunh ke atas, lalu asap api itu didatangi oleh Adipati.
Ternyata ketika sampai di tempat tersebut, yang ditemui di tempat itu adalah seorang nenek tua renta sedang menjaga tanaman semangka sebagai tanaman hasil cocok tanamnya di hutan yang penuh dengan pohon-pohon randu.
Akhirnya adipati Papak Purbaya bertanya “Siapakah gerangan hingga ada di hutan rimba dekat pantai?”
“Saya adalah Nini Beruk sedangkan suami saya adalah Kaki Beruk” jawab Nini Beruk.
Ternyata nenek tua yang dikenali Adipati dengan nama Kaki dan Nini Beruk, Orang Mataram yang sedang lelakon di gubuk-gubuk hutan rimba sebagai suku pertaman di daerah yang belum ada namanya.
Di daerah itu Adipati kebetulan haus, maka dimintalah buah semangka tanaman Nini Beruk walau kelihtan masih muda, tetapi apa yang terjadi ketika semangka dipegang oleh Adipati dan dibelah dengan keris simonglang, buah itu nampak besar dan setelah dibelah kelihatan matang. Melihat kejadian itu Nini Beruk baru tahu bahwa dirinya kedatangan tamu sakti mandraguna dari kerajaan Mataram. Usai memakan buah semangka sang Adipati lalu berpamitan walau Kaki Beruk belum pulang. Hingga berpesan “nanti kalau Kaki Beruk pulang sampaikan tadi saya mampir”. Kata Prabu Papak Purbaya seraya memberikan keris Simomonglang kepada Nini Beruk dan berpesan “Kelak keris ini dapat menjadi paku di daerah ini, dan daerah ini kelak menjadi besar dinamakan Witduri (saat itu banyak tanaman randu/pohon kapuk berduri), dan apabila kelak Keris Simonglang ini dimiliki dan dapat diambil bagi orang yang bertangan papak (keempat jari tangannya berposisi sama panjang perlambangan keluguan dan kejujuran)”.
“Baik kanjeng,” jawab Nini Beruk. Dan diingatlah pesan Adipati oleh Nini Beruk sambil memeganag keris Simonglang yang diberi Adipati, kemudian Adipati pergi melanjutkan perjalananan pulang ke Mataram. Selang beberapa waktu kemudian Kaki Beruk pulang merimba hingga mendapatkan informasi dari Nini Beruk atas kedatatangan Adipati. Setelah Kaki Beruk mendengar informasi itu seolah paham, lalu dikejarnya Adipati barangkali masih bisa ditemui tetapi Adipati sudah tak nampak.
Pada jaman kerajaan Mataram pertengahan abad ke 15 daerah yang diberi nama oleh Adipati Papak Purbaya “Widuri” diperintahkan oleh seorang kanjeng pangeran Benowo yang sebelum menjadi kanjeng, pernah merantau di daerah kesultanan Cirebon untuk berguru ilmu datang godaan wanita cantik dari saudara kesultanan Cirebon. Akhirnya Pangeraan Benowo memutuskan menghindari godaan itu dan pulang ke daerah kediamannya. Kemudian Pangeran Benowo menuju ke tempat persemediannya di daerah (sekarang Penggarit). Dalam semedinya, pangeran Benowo mendengar suara “Pang kuwe gariten, ning nggarit balik”. Ternyata setelah digarit dengan kerisnya (keris Kyai Tapak) batang pohon itu menggarit, maka pulanglah pangeran Benowo ke rumah orang tuanya, sehingga daerah persemediannya dinamakan daerah Penggarit yang berlokasi di desa Penggarit kecamatan Taman, kabupaten Pemalang. Setelah kembali, pangeran Benowo diangkat menjadi Kanjeng (sebutan Bupati dulu) di daerah yang sekarang Pemalang (Penghalang) pada tahun 1570-an. Tata pemerintahan pada waktu itu sesuai dengan aturan pemerintahan Mataram, sehingga daerahnya bercirikan sama, dari mulai Brebes sampai Surakarta.
Daerah pemerintahannya berupa Pendopo Kabupaten, Alun-alun. Masjid Agung atau kauman (sebelah barat), Poncociti (Pengadilan /pakunjaran/Lembaga Pemasyarakatan) di sebelah selatan, dan Pasar di sebelah utara. Kesemuanya itu menggambarkan tata cara roda pemerintahannya yang hingga saat ini. Namun demikian saat itu masih dalam pemerintahan penjajah Belanda.
Pada abad ke 16 ketika awal dijajah VOC, kabupaten Pemalang diinstruksikan oleh pihak Adipati penjajah VOC untuk mengumpulkan gaman atau keris-keris sakti di Pendopo kabupaten Pemalang. Dari gaman-gaman sakti yang di tarik itu tersimpan keris milik pangeran Benowo (keris kyai Tapak) dan keris Simonglang pemberian Adipati Papak Purbaya.
Dan sampai saat ini, keris Sitapak – Simonglang masih tersimpan rapi di Pendopo kabupaten Pemalang dan menjadi aset penting peninggalan sejarah yang pernah terjadi di daerah Pemalang.

(Sumber: http://ghinalarassati.blogspot.co.id/2010/10/sejarah-keris-sitapak-simonglang.html)

Terjadinya Desa Tanjung Sari

Kacarita Dewi Mayangsari ngerti yen pangeran Benawa  lolos. Dewi Mayangsari sumedya nggoleki, uga banjur lolos. Ora metu darat nanging metu segara. Nitih prau nunut praune wong golek iwak. Bareng tekan tlatah Pemalang, banjur munggah (mentas). Terus nakok-nakokake ana ngendi anggone pangeran Benawa .
Pangeran Benawa  midanget yen Dewi Mayangsari nusul, mula utusan kyai Mangori didawuhi balekake sang putri. Kyai Mangori iku misuwur digdaya banget. Ora tedas gaman keris ora ana sing pasah deweke. Bareng tekan pinggir segara ketemu karo sang putri. Sawise takon-tinakon, banjur matur: “sang putri panjenengan karaya-raya dateng Pemalang, badhe perlu punapa?”
Sang putri nuli nyritakake tujuane. Ya kuwi arep goleki pangeran Benawa . Sebab pengin dipundhut garwa pangeran Benawa . Kyai Mangori matur, yen pangeran Benawa  ora ana ing Pemalang. Sang putri diaturi kondur dateng Cirebon. Dewi Mayangsari ora kersa. Ngerti yen diapusi. Sebab ngerti yen pangeran Benawa  ana ing desa mangori. Dialang-alangi tetep meksa mberot, arep tindak ngidul. Kyai Mangori kwatir mbok menawa didukani pangeran Benawa. Kyai mangori ngalang-alangi. Sang putri ya ora kersa dialang-alangi, mundhut patreme, yaiku keris cilik, ndodok ana ing gelung. Kaya tusuk konde.
Kyai Mangori weruh sang putri ngunus patrem, ngguyu lakak-lakak. “lha aku kok diwedeni keris cilik. Iki kyai Mangori lho, ora ana gaman sing pasah ing awakku”. Sang putri midanget sumbere kyai Mangori. Cus!! Dlodok, pasah metu getihe. Kyai Mangori kaget banget. Lha kok ana gaman sing pasah ing awakke. Sanalika napsu banget. Ngunus kerise. Sang putri disuduk. Kena dadane. Dawah, terus seda. Layone banjur dipendhem ing ngisor wit tanjung. Nganti saiki desa iku katelah tanjungsari. Asale saka wit tanjung lan Dewi Mayangsari.

Ada beberapa versi dari asal usul desa Tanjungsari, di antaranya:
Inilah sumber pertama terjadinya desa tanjungsari yaitu dari pohon tanjung dan Dewi Mayangsari.
Sumber kedua cerita tentang Raden Maoneng, menurut cerita babad ini bahwa nama Tanjungsari berasal dari pohon tanjung dan sari yang artinya darah. Misal nggarapsari=datang bulan, saren=darah.
Sumber ketiga adalah soal cerita VOC  terhadap pekerja rodi yang mengerjakan jalan raya. Sebagaimana kita tahu bahwa di pemalang diterjang jalan raya buatan deandels, sehingga tidak heran kalau pada saat itu dikerahkan banyak pkerja rodi. Karena banyak pemuda atau orang laki-laki yang terkena pekerjaan itu.
Karena siksaan yang berat dan penderitaan yang tak tertahan, maka banyak pkerja rodi yang melawan terhadap kekejaman itu. Mereka ada yang memberontak atau yang melarikan diri. Dari sekian banyak yang melakukan perlawanan itu, tidak sedikit pula yang tertangkap kembali dan pada umumnya mereka dibunuh di tepi pantai, sehingga di tempat itu banyak menalir darah.
Dan tradisi itu dilanjutkan saat pembuatan pabrik gula, tidak sedikit kuli rodi yang dibunuh di tepi pantai. Dari sumber ini tanjung sari bersal dari, tanjung=nama tempat di tepi pantai,  dan sari=darah.

(Sumber: http://sinaubudayajawa.blogspot.co.id/2013/07/terjadinya-desa-tanjung-sari.html)

Asal Usul Pantai Widuri

Pada abad ke 15, pesisir utara Jawa Tengah masih banyak terdapat hutan dan rawa-rawa.  Warga yang tinggal pinggiran daerah itu pun masih sedikit.  Di pesisir yang sekarang menjadi Kabupaten Pemalang itu hiduplah sepasang suami istri, yaitu Kaki dan Nyai Pedaringan.
Walaupun pasangan ini berbeda jauh usianya, namun tidak menghalangi mereka berdua menjalin kasih. Nyai Pedaringan masih sangat muda, sedangkan Ki Pedaringan usianya sudah lebih dari setengah abad.
Pekerjaan Ki Pedaringan adalah bertani, menanam palawija dan semangka. Suatu hari, Nyi pedaringan menyiapkan sarapan di gubuknya, sedangkan Ki Pedaringan bekerja di sawahnya yang jaraknya sangat jauh.  Tiba-tiba di gubuknya datang seorang pemuda tampan.  Ia meminta agar dijinkan masuk ke dalam gubuk.  Pemuda itu dalam keadaan berdarah di lengannya.  Nyi Pedaringan kaget melihat darah di lengan pemuda tadi. Seperti ada pusaka kerajaan yang menancap. Dalam hati ia bertanya, “Siapakah orang ini?”
Tak lama kemudian pemuda tadi mengenalkan dirinya.  Ternyata dia adalah Pangeran Purbaya.  Punggawa Kerajaaan Mataram yang sedang mengemban tugas menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Salingsingan di Cirebon. Salingsingan ingin menguasai Tanah Jawa dari Mataram.
Akhirnya Salingsingan dapat dikalahkan dan Pangeran Purbaya selamat. Dalam perjalanan menuju Mataram, pangeran melihat gubuk dan hendak menghampiri untuk mengobati lukanya.  Nyai Pedaringan mencoba mengobati. Tak lama, Pangeran Purbaya berpamitan dan meningalkan sebuah keris sebagai tanda terima kasih.  Sang Pangeran berpesan bahwa keris yang bernama Simonglang itu agar dijaga dan dirawat. Diharapkan keris itu dapat menjadi pusaka daerah itu dan yang berhak memiliki adalah anak turun keluarga Pedaringan.
Siapa pun tidak berhak nengambil keris itu kecuali Pangeran Purbaya, atau orang yang jarinya pangkas seperti jari Pangeran Purbaya.  Pangeran Purbaya meneruskan perjalanan ke selatan.  Di tengah perjalanan, ia harus melewati sungai kecil yang melintang (bahasa Jawa: malang) dari arah timur dan mengalir menuju barat yang lokasinya dekat dengan laut. Dia seperti mendapat ilham dari yang Mahakuasa untuk menamai daerah tersebut Pemalang.
Sore hari, Ki Pedaringan baru sampai di gubuknya.  Ki Pedaringan kesal dan heran karena biasanya Nyai Pedaringan membawakan makanan tetapi sampai sore Nyai Pedaringan tidak datang.  Kesal menjadi curiga karena melihat Nyi Pedaringan membawa sebuah keris yang biasanya dimiliki oleh seorang lelaki. Nyi Pedaringan menjelaskan dari mana ia mendapatkan keris itu.  Tapi, Ki Pedaringan tidak mau menerimanya.  Keduanya bertengkar.
Akhirnya Nyi Pedaringan mencabut keris untuk membuktikan rasa cintanya.  Ia memotong jarinya. Darah segar mengalir dari jari-jarinya yang lentik. Nyai Pedaringan bersumpah.  Jika darah yang ia teteskan di bunga widuri yang putih berubah menjadi ungu pertanda bahwa cintanya masih suci.  Bunga widuri itupun berrubah warna menjadi ungu.
Melihat kejadian tadi Ki Pedaringan menyesal dan meminta maaf kepada Nyi Pedaringan. Untuk menebus kesalahannya, Ki Pedaringan menyusul Pangeran Purbaya.  Tapi sampai saat itu Ki Pedaringan tidak pernah kembali.  Nyai Pedaringan yang di juluki Nyai Widuri hidup sendiri dengan bayi yang masih ada dalam kandunganya.  Sampai akhir hayatnya Nyi Pedaringan menjadi janda. Sekarang nama Widuri diabadikan menjadi  nama desa tempat Nyai Widuri pernah tinggal.

(Sumber: http://sinaubudayajawa.blogspot.co.id/2013/07/asal-usul-pantai-widuri.html)

Daftar Kecamatan di Kab. Pemalang

1. Kecamatan Ampelgading 
Ampelgading, Losari, Tegalsari Barat, Tegalsari Timur, Banglarangan, Sidokare, Blimbing, Sokowati, Cibiyuk, Jatirejo, Karangtalok, Karangtengah, Kebagusan, Kemuning, Ujunggede, Wonogiri.

2. Kecamatan Bantar Bolang 
Bantarbolang, Glandang, Karanganyar, Kebon Gede, Kuta, Lenggerong, Pabuaran, Peguyangan, Pedagung, Pegiringan, Purana, Sambeng, Sarwodadi, Sumurkidang,
Suru, Wanarata, Banjarsari.

3. Kecamatan Belik 
Badak, Belik, Beluk, Bulakan, Gombong, Gunungtiga, Gunungjaya, Kalisaleh, Mendelem, Simpur.

4. Kecamatan Bodeh 
Babakan, Bodeh, Cangak, Gunungbatu, Jatingarang, Jatiroyom, Jraganan, Karangbrai, Kebandaran, Kebandungan, Kelangdepok, Kesesirejo, Kwasen, Longkeyang, Muncang, Parunggalih, Pasir, Payung, Pendowo.

5. Kecamatan Comal 
Purwoharjo, Ambokulon, Kandang, Kauman, Kebojongan, Klegen, Pecangakan, Sarwodadi, Sidorejo, Purwosari, Sikayu, Susukan, Tumbal, Wonokromo, Gandu.

6. Kecamatan Moga 
Banyumudal, Gendoang, Kebanggan, Mandiraja, Moga, Pepedan, Plakaran, Sima, Walangsanga, Wangkelang.

7. Kecamatan Pemalang 
Bojongbata, Widuri, Bojongnangka, Kebondalem, Sugihwaras, Mulyoharjo,  Paduraksa, Kramat, Lawangrejo, Mengori, Danasari, Pagongsoran, Saradan, Sewaka, Sungapan, Surajaya, Tambakrejo, Wanamulya, Banjarmulya.

8. Kecamatan Petarukan 
Petarukan, Bulu, Iser, Kalirandu, Karangasem, Kendaldoyong, Klareyan, Kendalrejo, Kendalsari, Loning, Nyamplung Sari, Panjunan, Pegundan, Pesucen, Petanjungan, Serang,  Sirangkang, Tegalmlati, Temuireng, Widodaren.

9. Kecamatan Pulosari 
Batursari, Cikendung, Clekatakan, Gambuhan, Gunungsari, Jurangmangu, Karangsari,
Nyalembeng, Pagenteran, Penakir, Pulosari, Siremeng.

10. Kecamatan Randu Dongkal 
Banjaranyar, Gembyang, Gongseng, Kalimas, Kalitorong, Karangmoncol, Kecepit, Kejene, Kreyo, Lodaya, Mangli, Mejagong, Penusupan, Randudongkal, Rembul, Semaya, Semingkir,
Tanahbaya.

11. Kecamatan Taman 
Beji, Wanarejan Selatan, Asemdoyong, Banjaran, Banjardawa, Cibelok, Gondang, Jebed Selatan, Jebed Utara, Jrakah, Kabunan, Kaligelang, Kedungbanjar, Kejambon, Pedurungan, Pener, Penggarit, Sitemu, Sokowangi, Taman, Wanarejan Utara.

12. Kecamatan Ulujami 
Ambowetan, Blendung, Botekan, Bumirejo, Kaliprau, Kertosari, Ketapang, Limbangan, Mojo, Padek, Pagergunung, Pamutih, Pesantren, Rowosari, Samong, Sukorejo, Tasikrejo, Wiyorowetan.

13. Kecamatan Warungpring 
Cibuyur, Datar, Karangdawa, Mereng, Pakembaran, Warungpring

14. Kecamatan Watukumpul 
Bodas, Cikadu, Majakerta, Majalangu, Medayu, Pagelaran, Tambi, Tlagasana, Tundagan, Watukumpul, Wisnu, Bongas, Cawet, Jojogan, Gapura.


(Sumber: http://kepemalangan.blogspot.co.id/2013/07/daftar-kecamatan-dan-desa-desa-di.html)

Sejarah Kabupaten Pemalang

Eksistensi Pemalang Berdasarkan Data Sosio-Historis Sampai Abad XIX
Keberadaan Pemalang dapat dibuktikan berdasarkan berbagai temuan arkeologis pada masa prasejarah. Temuan itu berupa punden berundak dan pemandian di sebelah Barat Daya Kecamatan Moga. Patung Ganesa yang unik, lingga, kuburan dan batu nisan di desa Keropak. Selain itu bukti arkeologis yang menunjukkan adanya unsur-unsur kebudayaan Islam juga dapat dihubungkan seperti adanya kuburan Syech Maulana Maghribi di Kawedanan Comal. Kemudian adanya kuburan Rohidin, Sayyid Ngali paman dari Sunan Ampel yang juga memiliki misi untuk mengislamkan penduduk setempat.
Eksistensi Pemalang pada abad XVI dapat dihubungkan dengan catatan Rijklof Van Goens dan data di dalam buku W FRUIN MEES yang menyatakan bahwa pada tahun 1575 Pemalang merupakan salah satu dari 14 daerah merdeka di Pulau Jawa, yang dipimpin oleh seorang pangeran atau raja. Dalam perkembangan kemudian, Senopati dan Panembahan Sedo Krapyak dari Mataram menaklukan daerah-daerah tersebut, termasuk di dalamnya Pemalang. Sejak saat itu Pemalang menjadi daerah vasal Mataram yang diperintah oleh Pangeran atau Raja Vasal.
Pemalang dan Kendal pada masa sebelum abad XVII merupakan daerah yang lebih penting dibandingkan dengan Tegal, Pekalongan dan Semarang. Karena itu jalan raya yang menghubungkan daerah pantai utara dengan daerah pedalaman Jawa Tengah (Mataram) yang melintasi Pemalang dan Wiradesa dianggap sebagai jalan paling tua yang menghubungkan dua kawasan tersebut.
Populasi penduduk sebagai pemukiman di pedesaan yang telah teratur muncul pada periode abad awal Masehi hingga abad XIV dan XV, dan kemudian berkembang pesat pada abad XVI, yaitu pada masa meningkatnya perkembangan Islam di Jawa di bawah Kerajaan Demak, Cirebon dan kemudian Mataram.
Pada masa itu Pemalang telah berhasil membentuk pemerintahan tradisional pada sekitar tahun 1575. Tokoh yang asal mulanya dari Pajang bernama Pangeran Benawa. Pangeran itu asal mulanya adalah Raja Jipang yang menggantikan ayahnya yang telah mangkat yaitu Sultan Adiwijaya.
Kedudukan raja ini didahului dengan suatu perseturuan sengit antara dirinya dan Aria Pangiri. Sayang sekali Pangeran Benawa hanya dapat memerintah selama satu tahun. Pangeran Benawa meninggal dunia dan berdasarkan kepercayaan penduduk setempat menyatakan bahwa Pangeran Benawa meninggal di Pemalang, dan dimakamkan di Desa Penggarit (sekarang Taman Makam Pahlawan Penggarit).
Pemalang menjadi kesatuan wilayah administratif yang mantap sejak R. Mangoneng, Pangonen atau Mangunoneng menjadi penguasa wilayah Pemalang yang berpusat di sekitar Dukuh Oneng, Desa Bojongbata pada sekitar tahun 1622. Pada masa ini Pemalang merupakan apanage dari Pangeran Purbaya dari Mataram. Menurut beberapa sumber R Mangoneng merupakan tokoh pimpinan daerah yang ikut mendukung kebijakan Sultan Agung. Seorang tokoh yang sangat anti VOC. Dengan demikian Mangoneng dapat dipandang sebagai seorang pemimpin, prajurit, pejuang dan pahlawan bangsa dalam melawan penjajahan Belanda pada abad XVII yaitu perjuangan melawan Belanda di bawah panji-panji Sultan Agung dari Mataram.
Pada sekitar tahun 1652, Sunan Amangkurat II mengangkat Ingabehi Subajaya menjadi Bupati Pemalang setelah Amangkurat II memantapkan tahta pemerintahan di Mataram setelah pemberontakan Trunajaya dapat dipadamkan dengan bantuan VOC pada tahun 1678.
Menurut catatan Belanda pada tahun 1820 Pemalang kemudian diperintah oleh Bupati yang bernama Mas Tumenggung Suralaya. Pada masa ini Pemalang telah berhubungan erat dengan tokoh Kanjeng Swargi atau Kanjeng Pontang. Seorang Bupati yang terlibat dalam perang Diponegoro. Kanjeng Swargi ini juga dikenal sebagai Gusti Sepuh, dan ketika perang berlangsung dia berhasil melarikan diri dari kejaran Belanda ke daerah Sigeseng atau Kendaldoyong. Makam dari Gusti Sepuh ini dapat diidentifikasikan sebagai makam kanjeng Swargi atau Reksodiningrat. Dalam masa-masa pemerintahan antara tahun 1823-1825 yaitu pada masa Bupati Reksadiningrat. Catatan Belanda menyebutkan bahwa yang gigih membantu pihak Belanda dalam perang Diponegoro di wilayah Pantai Utara Jawa hanyalah Bupati-bupati Tegal, Kendal dan Batang tanpa menyebut Bupati Pemalang.
Sementara itu pada bagian lain dari Buku P.J.F. Louw yang berjudul De Java Oorlog Uan 1825 -1830 dilaporkan bahwa Residen Uan Den Poet mengorganisasi beberapa barisan yang baik dari Tegal, Pemalang dan Brebes untuk mempertahankan diri dari pasukan Diponegoro pada bulan September 1825 sampai akhir Januari 1826. Keterlibatan Pemalang dalam membantu Belanda ini dapat dikaitkan dengan adanya keterangan Belanda yang menyatakan Adipati Reksodiningrat hanya dicatat secara resmi sebagai Bupati Pemalang sampai tahun 1825. Dan besar kemungkinan peristiwa pengerahan orang Pemalang itu terjadi setelah Adipati Reksodiningrat bergabung dengan pasukan Diponegoro yang berakibat Belanda menghentikan Bupati Reksodiningrat.
Pada tahun 1832 Bupati Pemalang yang Mbahurekso adalah Raden Tumenggung Sumo Negoro. Pada waktu itu kemakmuran melimpah ruah akibat berhasilnya pertanian di daerah Pemalang. Seperti diketahui Pemalang merupakan penghasil padi, kopi, tembakau dan kacang. Dalam laporan yang terbit pada awal abad XX disebutkan bahwa Pemalang merupakan afdeling dan Kabupaten dari karisidenan Pekalongan. Afdeling Pemalang dibagi dua yaitu Pemalang dan Randudongkal. Dan Kabupaten Pemalang terbagi dalam 5 distrik. Jadi dengan demikian Pemalang merupakan nama kabupaten, distrik dan Onder Distrik dari Karisidenan Pekalongan, Propinsi Jawa Tengah.
Pusat Kabupaten Pemalang yang pertama terdapat di Desa Oneng. Walaupun tidak ada sisa peninggalan dari Kabupaten ini namun masih ditemukan petunjuk lain. Petunjuk itu berupa sebuah dukuh yang bernama Oneng yang masih bisa ditemukan sekarang ini di Desa Bojongbata. Sedangkan Pusat Kabupaten Pemalang yang kedua dipastikan berada di Ketandan. Sisa-sisa bangunannya masih bisa dilihat sampai sekarang yaitu disekitar Klinik Ketandan (Dinas Kesehatan).
Pusat Kabupaten yang ketiga adalah kabupaten yang sekarang ini (Kabupaten Pemalang dekat Alun-alun Kota Pemalang). Kabupaten yang sekarang ini juga merupakan sisa dari bangunan yang didirikan oleh Kolonial Belanda. Yang selanjutnya mengalami beberapa kali rehab dan renovasi bangunan hingga kebentuk bangunan Jogio sebagai ciri khas bangunan di Jawa Tengah.
Dengan demikian Kabupaten Pemalang telah mantap sebagai suatu kesatuan administratif pasca pemerintahan Kolonial Belanda. Secara biokratif Pemerintahan Kabupaten Pemalang juga terus dibenahi. Dari bentuk birokratif kolonial yang berbau feodalistik menuju birokrasi yang lebih sesuai dengan perkembangan dimasa sekarang.
Sebagai suatu penghomatan atas sejarah terbentuknya Kabupten Pemalang maka pemerintah daerah telah bersepakat untuk memberi atribut berupa Hari Jadi Pemalang. Hal ini selalu untuk rnemperingati sejarah lahirnya Kabupaten Pemalang juga untuk memberikan nilai-nilai yang bernuansa patriotisme dan nilai-nilai heroisme sebagai cermin dari rakyat Kabupaten Pemalang.
Penetapan hari jadi ini dapat dihubungkan pula dengan tanggal pernyataan Pangeran Diponegoro mengadakan perang terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu tanggal 20 Juli 1823.
Namun berdasarkan diskusi para pakar yang dibentuk oleh Tim Kabupaten Pemalang Hari Jadi Pemalang adalah tanggal 24 Januari 1575. Bertepatan dengan Hari Kamis Kliwon tanggal 1 Syawal 1496 Je 982 Hijriah. Dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Kabupaten Pemalang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Hari Jadi Kabupaten Pemalang.
Tahun 1575 diwujudkan dengan bentuk Surya Sengkolo “Lunguding Sabdo Wangsiting Gusti” yang mempunyai arti harfiah : kearifan, ucapan/sabdo, ajaran, pesan-pesan, Tuhan, dengan mempunyai nilai 5751.
Sedangkan tahun 1496 je diwujudkan dengan Candra Sengkala “Tawakal Ambuko Wahananing Manunggal” yang mempunyai arti harfiah berserah diri, membuka, sarana/wadah/alat untuk, persatuan/menjadi satu dengan mempunyai nilai 6941.
Adapun Sesanti Kabupaten Pemalang adalah “Pancasila Kaloka Panduning Nagari” dengan arti harfiah lima dasar, termashur/terkenal, pedoman/bimbingan, negara/daerah dengan mempunyai nilai 5751(*)

(Sumber: http://www.pemalangkab.go.id/?p=575)